Kementerian Keuangan Dukung Adanya UU PPDK
Kementerian Keuangan RI mendukung sekaligus memberi masukan pada Panitia Khusus (Pansus) DPR RI dalam menyusun Rancangan Undang-undang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (PPDK).
Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar dalam raker dengan Pansus RUU PPDK Rabu (27/2) siang mengaku dapat memahami alasan DPR RI yang mengambil inisiatif untuk membentuk RUU PPDK dengan salah satu pertimbangan wilayah tersebut masih tertinggal, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.
Hal tersebut menurut Mahendra sejalan dengan apa yang dilakukan Kementerian Keuangan yang telah mengaloksikan dana untuk daerah kepulauan. Namun karena sarana disana kurang memadai menyebabkan daerah tersebut masih kurang berkembang dibanding daerah lainnya.
“Jangkauan listrik didaerah kepulauan saja misalnya, sangat sulit. Hal tersebut karena di daerah kepulauan masih menggunakan solar, seperti diketahui harga solar sangat mahal, karena memang transportasi disana yang sangat sulit,”jelas Mahendra.
Ditambahkan Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, diperlukan dana lebih bagi daerah kepulauan dalam mengejar ketertinggalannya. Namun, hal tersebut bukan berasal dari DAU (dana Alokasi Umum), melainkan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Apa yang diungkapkan Bambang menurut Wakil Ketua Pansus RUU PPDK, Alexander Litaay, sudah tercantum dalam RUU PPDK Pasal 32, yakni Penerimaan Daerah Kepulauan untuk Percepatan Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 huruf C diperoleh dari penerimaan khusus yang besarnya setara dengan 1 (satu) persen dari plafon dana alokasi umum yang diutamakan untuk pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
“Dalam studi banding kami ke Philipina beberapa waktu lalu kami mendapati pulau-pulau terpencil di sana diberikan dana lebih di daerah-daerah perkotaan. Sementara di Indonesia, APBD DKI Jakarta saja 50 Trilyun, sedangkan APBD Daerah kepulauan hanya 2 trilyun,”ungkap Politisi dari PDI Perjuangan ini.
Kata Alex, hal tersebut membuat perkembangan daerah perkotaan semakin dahsyat, sementara daerah kepulauan semakin tertinggal dan terisolir. Kondisi demikian yang terus menerus akan memunculkan kecemburuan dalam masyarakat yang akhirnya akan menumbuhkan bibit-bibit disintegrasi.
Sementara itu Sigit Sosiantomo, anggota Pansus dari FPKS mempertanyakan, jika memang untuk pembangunan daerah kepulauan itu diperlukan dana khusus, berapa besar dana tersebut.
“Selain dana, sebenarnya apakah hal minimal yang harus dimiliki oleh daerah-daerah tersebut, agar daerah kepulauan memiliki daya ungkit untuk mengejar ketertinggalan mereka,”tanya Sigit.
Menanggapi hal tersebut Mahendra berjanji akan membuatkan penjelasan yang lebih terinci secara tertulis. Namun lanjutnya, daerah kepulauan yang sebagian besar merupakan wilayah laut itu tentu yang harus dimaksimalkan adalah sumber daya kelautannya. Misalnya industri berbasis perikanan, dimana harus ada pabrik-pabrik ikan di dalamnya. Artinya, ikan dari nelayan tidak langsung dibawa eksportir besar ke daerah atau negara lain,melainkan harus lebih dahulu melalui masyarakat atau pengusaha setempat. Sehingga masyarakat setempat bisa mendapat hasil yang lebih besar dari sumber daya kelautannya.
“Selama ini, ikan hasil tangkapan masyarakat setempat dibeli dengan harga murah oleh pengusaha besar yang kemudian langsung dibawa ke daerah atau negara lain. Hal itu jelas merugikan masyarakat. Dengan adanya pabrik-pabrik ikan, akan membuat daya jual ikan dari masyarakat setempat meningkat, yang akhirnya penghasilan masyarakat kepulauan pun akan meningkat,”tutur Bambang menambahkan.(Ayu) foto:ry/parle